GAS S (GABUNGAN SCOOTER SERANG)

Jumat, 25 Juni 2010

NEOLIBERALISME MENCENGKERAM INDONESIA

”NEOLIBERALISME MENCENGKERAM INDONESIA”
Pasca krisis moneter, memasuki era reformasi, ternyata kebijakan perekonomian Indonesia semakin liberal. Hal ini dapat diukur dari beberapa indikator utama yaitu:
1. Dihapuskannya berbagai subsidi Pemerintah secara bertahap dan diserahkannya harga barang-barang strategis ke mekanisme pasar.
2. Nilai kurs rupiah diambangkan secara bebas (floating rate) sesuai dengan kesepakatan dalam LoI dengan pihak IMF, artinya harus dikembalikan pada mekanisme pasar.
3. Privatisasi BUMN, yaitu dengan menjualnya kepada pihak swasta, baik swasta nasional maupun asing.
4. Peran serta Pemerintah Indonesia dalam kancah WTO dan Perjanjian GATT, yang semakin memperjelas komitmen Indonesia untuk masuk dalam 'kubangan' liberalisasi ekonomi dunia atau Kapitalisme global.
Dampak ekonomi Neoliberal bagi Indonesia setidaknya ada 3 yaitu:
1. Dikuasainya sektor kepemilikan umum oleh swasta. Akibat menganut sistem mekanisme pasar bebas Pemerintah Indonesia harus melepaskan perannya dalam berbagai pengelolaan ekonomi yang ditandai dengan banyak dikuasainya sektor-sektor yang mengusai hajat hidup orang banyak (sektor kepemilikan umum) --baik dengan cara langsung maupun melalui proses privatisasi BUMN oleh swasta. 
Sebagai contoh di bidang kehutanan. Sejarah industri perkayuan berawal dari pemberian Hak Pengusaha Hutan (HPH). Ditandai dengan keluarnya PP No 21 Tahun 1970 tentang Hak Pengusahaan Hutan (HPH) dan Hak Pemungutan Hasil Hutan (HPHH). 
2. Bobroknya lembaga keuangan dan masuknya Indonesia ke dalam jerat utang (debt trap). Konsekuensi berikutnya dari sistem pasar bebas adalah adanya liberalisasi di pasar uang yang berbasis bunga. Krisis ekonomi yang melanda Indonesia sejak pertengahan tahun 1997 membuka semua tabir kerapuhan perbankan konvensional yang berbasis pada sistem bunga. 
3. Munculnya kesenjangan ekonomi. Dampak dari pembangunan ekonomi bercorak liberalistik yang paling menyakitkan adalah terjadinya kesenjangan ekonomi yang luar biasa. Pada masa Orde Baru ketimpangan ekonomi sudah sangat mencolok. 
Namun, apa yang terjadi? Pada masa Orde Baru, rata-rata hasil eksploitasi hutan di Indonesia setiap tahunnya adalah 2,5 US$ miliar. Dari hasil itu, yang masuk ke dalam kas negara hanya 17%, sedangkan sisanya sebesar 83% masuk ke kantong pengusaha HPH. 
Pada masa Orba tersebut, sebagian besar hutan di Indonesia sudah dikuasai oleh dua belas (12) grup besar melalui 109 perusahaannya. Memasuki masa Orde Reformasi Indonesia tinggal menuai getahnya. 
Pada masa Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), kondisinya semakin liberal lagi. Jika pada masa-masa sebelumnya Pertamina senantiasa memegang monopoli distribusi minyak di dalam negeri maka mulai November 2009 Pemerintah membuka keran investasi hilir di bidang migas kepada investor swasta dalam negeri maupun asing. 
Jika Pemerintah membuka keran liberalisasi di sektor hilir migas, maka tuntutannya hanya satu, yaitu tidak boleh ada yang memperoleh fasilitas subsidi sebagaimana yang selama ini diterima oleh Pertamina. Berarti subsidi BBM harus dicabut sampai 0%. Dapat dipastikan bahwa harga BBM bakal naik lagi. Namun, dengan merek yang berbeda-beda. Paling tidak sudah siap 7 merek BBM dengan harga yang sama-sama mahalnya. Di mana posisi neoliberalisme? Ia merupakan turunan dari classical liberal dan kapitalisme pasar bebas. Ciri-ciri tambahan dari neoliberalisme adalah perdagangan bebas dan lalu lintas modal bebas dalam lingkup global, sebagai alat untuk ekspansi kapitalisme global. Kenapa di negeri kita neoliberalisme dipertentangkan dengan ekonomi kerakyatan?
Ekonomi kerakyatan bukanlah sistem ekonomi. Melainkan, lebih sebagai pilihan orientasi kebijakan ekonomi yang menitikberatkan pada pemenuhan kebutuhan dasar atau kebutuhan pokok rakyat.
Setelah Pemerintah "sukses" mengeluarkan Perpres No. 112 tahun 2007 yang ditandatangani Presiden SBY, yang meliberalisasi sektor perdagangan : yang tercermin dalam pasal 5 ayat 4 : mengijinkan peritel besar merambah sampai ke pelosok-pelosok, yang nampak dari menjamurnya Alfamart, Indomaret, Circle K, Superindo, Apotik 24, pom bensin Shell, Petronas, dll. sehingga pedagang tradisional mati kutu, maka langkah liberalisasi perekonomian ini kemudian dilanjutkan ke semua sektor yang lain.
Di bidang pendidikan, Pemerintah kemudian mengajukan usul inisatif tentang liberalisasi pendidikan yang tercermin dalam UU BHP (Undang-undang Badan Hukum Pendidikan), yang disahkan oleh Presiden SBY tanggal 16 Januari 2009, yang telah "berhasil" membuat biaya pendidikan di sekolah negeri dan universitas negeri menjadi luar biasa mahal. UU BHP ini juga telah "sukses" menjadikan kelas regular menjadi "kelas paria" dalam menghadapi kelas internasional di lingkup pendidikan negeri, sehingga konsep education for all (pendidikan untuk semua) dan konsep "Wajib Belajar 9 Tahun" telah dilanggar secara brutal melalui berbagai PP turunannya (PP No.60 dan 61 tahun 1999). PP itu telah melegalkan komersialisasi pendidikan secara kasat mata dan menjadikan pendidikan kehilangan fungsi sosialnya (pendidikan telah dijadikan semacam komoditi perdagangan lengkap dengan pajaknya). Syukurlah UU BHP ini akhirnya dibatalkan melalui amar putusan MK (Mahkamah Konstitusi) No. 11-14-21-126 dan Keputusan MK No. 136/PUUVII/2009. Keputusan MK itu bersifat final dan mengikat.
Namun Pemerintah rupanya tidak jera juga, liberalisasi dan komersialisasi itu sekarang menyentuh sektor pertanian. Melalui UU No. 41 tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan, yang ditanda tangani Presiden SBY tanggal 14 Oktober 2009, ternyata pemerintah mengijinkan sektor swasta berinvestasi di sektor tanaman pangan, maka petani dipaksa bertanding dengan investor besar. Berdasarkan UU No. 41 tahun 2009 ini, Pemerintah kemudian mengeluarkan PP No. 18 tahun 2010 tentang Usaha Budidaya Tanaman yang ditanda tangani Presiden SBY. Atas dasar PP ini, Departemen Pertanian kemudian mengajukan Draft Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) tentang Pedoman Perijinan Usaha Budidaya Tanaman Pangan. Menurut Draft Permentan ini semua petani di Indonesia wajib mendaftarkan usaha taninya kepada bupati/walikota apabila mereka mau menanam komoditas tanaman pangan seperti padi, jagung, kedelai, ubi jalar, ubi kayu, kacang hijau dan sorghum. Usaha tani dengan skala usaha kurang dari 25 hektar dan/atau menggunakan tenaga tetap kurang dari 10 orang harus didaftar oleh bupati/walikota.
Aturan baru ini berpotensi menjajah petani, menjadikan mereka obyek kekuasaan, menghilangkan kedaulatan petani atas lahan, mencerabut kearifan lokal dan menurunkan produksi pangan nasional. Selain itu, juga menciptakan pungutan liar (pungli), menjadikan petani sasaran pemerasan, bahkan bentuk lepas tanggung jawab pemerintah atas buruknya pendataan lahan dan usaha tani. 
"Dengan aturan itu, pemerintah melihat petani itu sebagai pengusaha, padahal SDM pertanian rendah".
Neolib sudah melanda seluruh sektor kehidupan kita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar